TRINITAS: Satu Tuhan dalam Tiga Pribadi

Posted by mbah on Saturday, September 24, 2011

Satu Tuhan dalam Tiga Pribadi – TRINITAS. Walaupun kita mengetahui bahwa konsep Trinitas ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan akal, bukan berarti bahwa Allah Tritunggal ini adalah konsep yang sama sekali tidak masuk akal. Berikut ini adalah sedikit uraian bagaimana kita dapat mencoba memahami Trinitas, walaupun pada akhirnya harus kita akui bahwa adanya tiga Pribadi dalam Allah yang Satu ini merupakan misteri yang tidak cukup kita jelaskan dengan akal, sebab jika dapat dijelaskan dengan tuntas, maka hal itu tidak lagi menjadi misteri. St. Agustinus bahkan mengatakan, “Kalau engkau memahami-Nya, Ia bukan lagi Allah”.[1] Sebab Allah jauh melebihi manusia dalam segala hal, dan meskipun Ia telah mewahyukan Diri, Ia tetap tinggal sebagai rahasia/ misteri yang tak terucapkan. Di sinilah peran iman, karena dengan iman inilah kita menerima misteri Allah yang diwahyukan dalam Kitab Suci, sehingga kita dapat menjadikannya sebagai dasar pengharapan, dan bukti dari apa yang tidak kita lihat (lih. Ibr. 11:1-2). Agar dapat sedikit menangkap maknanya, kita perlu mempunyai keterbukaan hati. Hanya dengan hati terbuka, kita dapat menerima rahmat Tuhan, untuk menerima rahasia Allah yang terbesar ini; dan hati kita akan dipenuhi oleh ucapan syukur tanpa henti.

Mungkin kita pernah mendengar orang yang menjelaskan konsep Allah Tritunggal dengan membandingkan-Nya dengan matahari: yang terdiri dari matahari itu sendiri, sinar, dan panas. Atau dengan sebuah segitiga, di mana Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus menempati masing-masing sudut, namun tetap dalam satu segitiga. Bahkan ada yang mencoba menjelaskan, bahwa Trinitas adalah seperti kopi, susu, dan gula, yang akhirnya menjadi susu kopi yang manis. Penjelasan yang menggunakan analogi ini memang ada benarnya, namun sebenarnya tidak cukup, sehingga sangat sulit diterima oleh orang-orang non-Kristen. Apalagi dengan perkataan, ‘pokoknya percaya saja’, ini juga tidak dapat memuaskan orang yang bertanya. Jadi jika ada orang yang bertanya, apa dasarnya kita percaya pada Allah Tritunggal, sebaiknya kita katakan, “karena Allah melalui Yesus menyatakan Diri-Nya sendiri demikian”, dan hal ini kita ketahui dari Kitab Suci.

Doktrin Trinitas atau Allah Tritunggal Maha Kudus adalah pengajaran bahwa Tuhan adalah SATU, namun terdiri dari TIGA pribadi: 1) Allah Bapa (Pribadi pertama), 2) Allah Putera (Pribadi kedua), dan Allah Roh Kudus (Pribadi ketiga). Karena ini adalah iman utama kita, maka kita harus dapat menjelaskannya lebih daripada hanya sekedar menggunakan analogi matahari, segitiga, maupun kopi susu.

Syahadat ‘Aku Percaya’ menyatakan bahwa rahasia sentral iman Kristen adalah Misteri Allah Tritunggal. Maka Trinitas adalah dasar iman Kristen yang utama yang disingkapkan dalam diri Yesus. Seperti kita ketahui di atas, iman kepada Allah Tritunggal telah ada sejak zaman Gereja abad awal, karena didasari oleh perkataan Yesus sendiri yang disampaikan kembali oleh para murid-Nya. Jadi, tidak benar jika doktrin ini baru ditemukan dan ditetapkan pada Konsili Konstantinopel I pada tahun 359! Yang benar ialah: Konsili Konstantinopel I mencantumkan pengajaran tentang Allah Tritunggal secara tertulis, sebagai kelanjutan dari Konsili Nicea (325), dan untuk menentang heresies (ajaran sesat) yang berkembang pada abad ke-3 dan ke-4, seperti Arianisme (oleh Arius 250-336, yang menentang kesetaraan Yesus dengan Allah Bapa) dan Sabellianisme (oleh Sabellius 215 yang membagi Allah dalam tiga modus, sehingga seolah ada tiga Pribadi yang terpisah).

Dari sejarah Gereja kita melihat bahwa konsili-konsili diadakan untuk menegaskan kembali ajaran Gereja (yang sudah berakar sebelumnya) dan menjaganya terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/ menyimpang. Jadi yang ditetapkan dalam konsili merupakan peneguhan ataupun penjabaran ajaran yang sudah ada, dan bukannya menciptakan ajaran baru. Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus sendiri menjaga Gereja-Nya: sebab setiap kali Gereja ‘diserang’ oleh ajaran yang sesat, Allah mengangkat Santo/Santa yang dipakai-Nya untuk meneguhkan ajaran yang benar dan Yesus memberkati para penerus rasul dalam konsili-konsili untuk menegaskan kembali kesetiaan ajaran Gereja terhadap pengajaran Yesus kepada para Rasul. Lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas di dalam artikel terpisah, dalam topik Sejarah Gereja.

Berikut ini adalah Dogma tentang Tritunggal Maha Kudus menurut Katekismus Gereja Katolik, yang telah berakar dari jaman jemaat awal:

1. Tritunggal adalah Allah yang satu. Pribadi ini tidak membagi-bagi ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun mereka adalah ‘sepenuhnya dan seluruhnya’. Bapa adalah yang sama seperti Putera, Putera yang sama seperti Bapa; dan Bapa dan Putera adalah yang sama seperti Roh Kudus, yaitu satu Allah dengan kodrat yang sama. Karena kesatuan ini, maka Bapa seluruhnya ada di dalam Putera, seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Putera seluruhnya ada di dalam Bapa, dan seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Roh Kudus ada seluruhnya di dalam Bapa, dan seluruhnya di dalam Putera.
2. Ketiga Pribadi ini berbeda secara real satu sama lain, yaitu di dalam hal hubungan asalnya: yaitu Allah Bapa yang ‘melahirkan’, Allah Putera yang dilahirkan, Roh Kudus yang dihembuskan.
3. Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lainnya. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, namun malah menunjukkan hubungan timbal balik antar Pribadi Allah tersebut. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dengan Bapa, dan Roh Kudus dihubungkan dengan keduanya. Hakekat mereka adalah satu, yaitu Allah.

Jadi bagaimana kita menjelaskan Trinitas?

Kita akan mencoba memahaminya dengan bantuan filosofi. Dengan pendekatan filosofi, maka diharapkan kita akan dapat masuk ke dalam misteri iman, sejauh apa yang dapat kita jelaskan dengan filosofi. Dengan demikian, filosofi melayani teologi. Untuk menjelaskan Trinitas, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu beberapa istilah kunci, yaitu apa yang disebut sebagai substansi/ hakekat/ kodrat dan apa yang disebut sebagai pribadi/ hypostatis. Pengertian kedua istilah ini diajarkan oleh St. Gregorius dari Nasiansa. Kedua, bagaimana menjelaskan prinsip Trinitas dengan argumentasi kenapa hal ini sudah sepantasnya terjadi atau “argument of fittingness.” Ketiga, kita dapat menjelaskan konsep Trinitas dengan argumen definisi kasih. Berikut ini mari kita lihat satu persatu.

Arti ‘substansi/ hakekat’ dan ‘pribadi’
‘Substansi’ (kadang diterjemahkan sebagai hakekat/ kodrat) dari diri kita adalah ‘manusia’. Kodrat sebagai manusia ini adalah sama untuk semua orang. Tetapi jika kita menyebut ‘pribadi’ maka kita tidak dapat menyamakan orang yang satu dengan yang lain, karena setiap pribadi itu adalah unik. Dalam bahasa sehari-hari, pribadi kita masing-masing diwakili oleh kata ‘aku’ (atau ‘I’ dalam bahasa Inggris), di mana ‘aku’ yang satu berbeda dengan ‘aku’ yang lain. Sedangkan, substansi/ hakekat kita diwakili dengan kata ‘manusia’ (atau ‘human’). Analogi yang paling mirip (walaupun tentu tak sepenuhnya menjelaskan misteri Allah ini) adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh dalam diri kita. Tanpa jiwa, kita bukan manusia, tanpa tubuh, kita juga bukan manusia. Kesatuan antara jiwa dan tubuh kita membentuk hakekat kita sebagai manusia, dan dengan sifat-sifat tertentu membentuk kita sebagai pribadi.

Dengan prinsip yang sama, maka di dalam Trinitas, substansi/hakekat yang ada adalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan di dalam kesatuan tersebut terdapat tiga Pribadi: ada tiga ‘Aku’, yaitu Bapa. Putera dan Roh Kudus. Tiga pribadi manusia tidak dapat menyamai makna Trinitas, karena di dalam tiga orang manusia, terdapat tiga “kejadian”/ ‘instances‘ kodrat manusia; sedangkan di dalam tiga Pribadi ilahi, terdapat hanya satu kodrat Allah, yang identik dengan ketiga Pribadi tersebut. Dengan demikian, ketiga Pribadi Allah mempunyai kesamaan hakekat Allah yang sempurna, sehingga ketiganya membentuk kesatuan yang sempurna. Yang membedakan Pribadi yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak dalam hal hubungan timbal balik antara ketiganya.

Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai akal budi. Akal budi yang berada dalam jiwa manusia inilah yang menjadikan manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna, jika dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Akal budi, yang terdiri dari intelek (intellect) dan keinginan (will) adalah anugerah Tuhan kepada umat manusia, yang menjadikannya sebagai ‘gambaran’ Allah sendiri.

Nah, intelek dan keinginan tersebut memampukan manusia melakukan dua perbuatan prinsip yang menjadi ciri khas manusia, yaitu: mengetahui dan mengasihi. Kemampuan mengetahui sesuatu tidaklah menunjukkan kesempurnaan manusia, karena kita menyadari bahwa komputer-pun dapat ‘mengetahui’ lebih banyak daripada kita, kalau dimasukkan program tertentu, seperti kamus atau ensiklopedia. Namun, yang membuat manusia istimewa adalah kerjasama antara intelek dan keinginan, jadi tidak sekedar mengetahui, tetapi dapat juga mengasihi. Jadi hal ‘mengasihi’ inilah yang menjadikannya sebagai mahluk yang tertinggi jika dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, apalagi dengan benda-benda mati.

Kita mengenal peribahasa “kalau tak kenal, maka tak sayang“. Peribahasa ini sederhana, namun berdasarkan suatu argumen filosofi, yaitu “mengetahui lebih dahulu, kemudian menginginkan atau mengasihi.” Orang tidak akan dapat mengasihi tanpa mengetahui terlebih dahulu. Bagaimana kita dapat mengasihi atau menginginkan sesuatu yang tidak kita ketahui? Sebagai contoh, kalau kita ditanya apakah kita menginginkan komputer baru secara cuma-cuma? Kalau orang tahu bahwa dengan komputer kita dapat melakukan banyak hal, atau kalaupun kita tidak memakainya, kita dapat menjualnya, maka kita akan dengan cepat menjawab “Ya, saya mau.” Namun kalau kita bertanya kepada orang pedalaman yang tidak pernah mendengar atau tahu tentang barang yang bernama komputer, maka mereka tidak akan langsung menjawab “ya”. Mereka mungkin akan bertanya dahulu, “komputer itu, gunanya apa?” Di sini kita melihat bahwa tanpa pengetahuan tentang barang yang disebut sebagai komputer, orang tidak dapat menginginkan komputer.

Nah, berdasarkan dari prinsip “seseorang tidak dapat memberi jika tidak lebih dahulu mempunyai” aka Tuhan yang memberikan kemampuan pada manusia untuk mengetahui dan mengasihi, pastilah memiliki kemampuan tersebut secara sempurna. Jika kita mengetahui sesuatu, kita mempunyai konsep tentang sesuatu tersebut di dalam pikiran kita, yang kemudian dapat kita nyatakan dalam kata-kata. Maka, di dalam Tuhan, ‘pengetahuan’ akan Diri-Nya sendiri dan segala sesuatu terwujud di dalam perkataan-Nya, yang kita kenal sebagai “Sabda/ Firman”; dan Sabda ini adalah Yesus, Sang Allah Putera.

Jadi, di dalam Pribadi Tuhan terdapat kegiatan intelek dan keinginan yang terjadi secara sekaligus dan ilahi, yang mengatasi segala waktu, yang sudah terjadi sejak awal mula dunia. Kegiatan intelek ini adalah Allah Putera, Sang Sabda (“The Word“). Rasul Yohanes mengatakan pada permulaan Injilnya, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh 1:1). Selanjutnya, kesempurnaan manusia sebagai mahluk personal dinyatakan, tidak hanya melalui kemampuannya untuk mengetahui, namun juga mengasihi, yaitu memberikan dirinya kepada orang lain dalam persekutuannya dengan sesama. Maka ‘mengasihi’ di sini melibatkan pribadi yang lain, yang menerima kasih tersebut. Kalau hal ini benar untuk manusia pada tingkat natural, maka di tingkat supernatural ada kebenaran yang sama dalam tingkatan yang paling sempurna. Jadi Tuhan tidak mungkin Tuhan yang ‘terisolasi’ sendirian, namun “keluarga Tuhan”, dimana keberadaan-Nya, kasih-Nya, dan kemampuan-Nya untuk bersekutu dapat terwujud, dan dapat menjadi contoh sempurna bagi kita dalam hal mengasihi. Dalam hal ini, hubungan kasih timbal balik antara Allah Bapa dengan Putera-Nya (Sang Sabda) ‘menghembuskan’ Roh Kudus; dan Roh Kudus kita kenal sebagai Pribadi Allah yang ketiga.

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment