BAB II. KELUHURANKU SEBAGAI CITRA ALLAH

Posted by Unang76 on Friday, October 14, 2011

Pribadi kita sebagai manusia yang berharga, kita diciptakan Allah sebagai citra-Nya. Sepantasnyalah kita setiap manusia saling menghormati dan menghargai, walaupun ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam perbedaan itu manusia diajak untuk menyadari bahwa setiap pribadi mempunyai keutuhan, tidak hanya secara fisik, tetapi juga rohani. Setiap manusia mempunyai pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan, segalanya tak hanya bersifat fisik dan mekanis, tetapi didasari olah jiwa yang membuat manusia berperasaan dan berkehendak, keluhuran martabat inilah yang seharusnya menyadarkan kita untuk selalu mengembangkan dan mempersembahkan segala yang telah dikaruniakan Allah kepada kita dengan sebaik mungkin.

A. Semua Manusia Secitra

Pribadi manusia merupajan pribadi yang secitra dengan Allah. Allah menganugerahkan berkat pada setiap pribadi tanpa terkecuali, walaupun dengan keterbatasan masing-masing. Semua manusia adalah satu saudara dan luhur adanya.

1. Semua Manusia Sesama dan Saudara dalam Allah.

Kita semua adalah pribadi manusia yang diciptakan Allah. Setiap dari kita adalah pribadi yang paling luhur, menjadi berkat bagi sesame. Dalam Kitab Nabi Yeremia dikatakan, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer 1:5). Dengan demikian dapat dikatakan lewat kutipan teks tersebut mau mengatakan betapa Allah telah memberikan karunia keluhuran bagi setiap pribadi. Anugerah yang diberikan sebelum kita di lahirkan di dunia. Anugerah, bahwa kita semua berarti dan dipilih oleh Allah dalam situasi apapun, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kita miliki.

Dalam kekurangan dan kelebihan itu baik secara fisik, tetaplah merupakan pribadi yang bermartabat. Martabat itu tentu bukan diukur dari segi badan dan lahiriah, tetapi dari siapakan diri kita sebenarnya, yaitu pribadi yang telah diciptakan Allah sesuai dengan citra-Nya (seturut gambar dan rupa-Nya). Citra Allah menunjukkan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan yang paling mulia, kita menyerupai Allah (bdk. Mzm 8:5). Citra itu pancaran. Manusia mencerminkan atau merupakan pancaran dari Allah. Artinya, bahwa di dalam martabat setiap pribadi manusia, dapat dilihat gambaran dan pantulan rupa Allah. Semua pribadi manusia tercipta baik adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, manusia tetap manusia yang bermartabat. Dalam diri setiap pribadi, kita percaya ada pancaran kebaikan-kebaikan Allah.

Dan karena kita semua adalah citra Allah, maka kita harus menghargai sesame manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan baik secara fisik-lahiriahnya dan sifat-sifatnya, kita berkewajiban menjada dan mengembangkan martabat. Mengembangkan kebaikan-kebaikan dan segala sesuatu yang kita lakukan supaya bermanfaat bagi sesame kita, apapun bentuknya. Karena semua manusia sesame dan saudara dalam Allah.

2. Sikap dan Tindakan Manghargai Sesama

Manusia adalah citra Allah, dalam konteks hidup sekarang, kita banyak melihat berbagai peristiwa hidup yang terkadang berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Lewat media massa kita banyak melihat peristiwa-peristiwa kekerasan yang sangat memprihatinkan, manusia tidak dihargai martabatnya. Konflik kepentingan yang terkadang tidak lepas dari isu SARA muncul begitu banyak di wilayah Indonesia, mulai dari Ambon sampai Papua. Tidak ketinggalah tindakan terorisme, yang merenggut nyawa tidak sedikit. Martabat manusia seakan menjadi sebuah barang mainan yang dapat dipermainkan seenaknya.

Ada beberapa sebab yang dapat memunculkan konflik. Salah satu sebab munculnya konflik adalah perbedaan, perbedaan yang dibawa setiap individu dalam suatu interaksi bersama orang lain. Sebab lain adalah perasaan terancam, orang atau golongan yang merasa teracam akan cenderung bersikap fanatik, misalnya munculnya isu Kristenisasi atau Islamisasi dapat membuat kedua kelompok bersikap fanatik.

Banyak cara telah dilakukan demi perdamaian. Dialog menjadi tema utama dalam setiap penyelesaian konflik. Yang diharapkan bahwa dialog bukan semata-mata pertemuan dua kelompok atau lebih, melainkan tindakan nyata dan konkret demi terciptanya perdamaian. Jika cara berfikir kita hanya sebatas, bahwa orang lain adalah “obyek”, maka orang lain dipandang selalu sebagai “yang lain”. Jika demikian, maka yang terjadi adalah bahwa kita selalu menolak keberadaan pribadi orang lain sebagai seseorang yang berharga dan sederajat dengan kita. Sehingga kita melihat orang lain lebih rendah, tidak bermarabat, tidak bermoral dan sebagainya. Dampak dari sikap ini adalah kekerasan, pembunuhan, bahkan penghancuran kelompok tertentu. Kekerasan yang terjadi ini sebenarnya dilatarbelakangi atas proses berfikir yang sempit, yaitu bagaimana manusia memandang sesame sebagai hubungan subyek dan obyek.

Melalui konflik, seharusnya kita disadarkan betapa pentingnya kita saling mengoreksi diri, betapa masih banyak kekurangan yang ada dalam diri kita berhubungan dengan orang lain. Keterbukaan hati untuk saling memahami, menjadi titik awal bagaimana sebuah kedewasaan dibangun. Membangun sikap positif dalam berkomunikasi dengan orang lain, menghormati dan menghargai orang lain secara tulus memungkinkan kesalahpahaman dan konflik dapat dihindari. Bersikap dan berfikir positif terhadap orang lain mempunyai unsur-unsur, diantaranya kesediaan mendengarkan, menghargai pendapat, dan melibatkan diri (berempati). Dengan ini orang akan memiliki harga diri sehingga akan membantu menciptakan komunikasi yang bermakna dan mendalam. Sikap ini perlu diperkuat dengan cara pandang kita untuk menjauhkan diri dari sikap yang berlebihan. Menghargai kemajemukan dengan berfikir dan bersikap terbuka atau inklusif.

Dalam Kitab Suci digambarkan dengan jelas bagaimana manusia yang diciptakan secitra dan segambar dengan Allah itu diharapkan mampu memancarkan kasih Allah kepada sesama.

a. Kesetaraan martabat, setiap manusia memiliki kesataraan martabat dan hak asasi dihadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai “Citra Allah” (Kej 1:27), atau “Gambaran Allah yang tak kelihatan (Kol 1:15), yang dipanggil untuk menjadi “Anak Allah” (Yoh 3:1-2)

b. Pluralisme atau kemajemukan adalah suatu kenyataan. Perbedaan yang ada sebagai salah satu jalan untuk menyempurnakan satu sama lain. Seperti halnya tubuh, banyak anggota tetapi satu tubuh. Beberapa talenta, kurnia dan panggilan, tetapi satu rekan sekerja Allah (1Kor 1:10 ; Rom 12)

c. Ada perbedaan, dapat membantu orang untuk mawar diri, sehingga tidak mudah untuk menghakimi atau mengadili orang lain. Serahkan penghakiman itu pada Allah. Hendaknya kita suka mengampuni orang lain, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita (Mat 7:1-5; Luk 6:37-42; Ef 4:32)

d. Hukum cinta kasih, adalah dasar utama mengapa kita harus toleran kepada sesama. Cinta berarti menerima orang lain apa adanya sesuai dengan identitasnya yang berbeda atau justru karena identitasnya yang berbeda. Yesus mengajarkan kita untuk saling mencintai tanpa syarat. (Luk 10:25-37).

Dengan demikian menjadi jelas, orang diharapkan mampu memancarkan kasih Allah kepada sesame, dengan sikap dan tindakan itu manusia menunjukkan tugasnya yang utama sebagai citra Allah.

3. Upaya Menjaga Keluhuranku Sebagai Manusia.

Hidup kita sebagai manusia merupakan anugerah yang luar biasa yang patut untuk diperjuangkan. Kehidupan demikian besar artinya “Hidup ditandai ciri yang tak terhapuskan, yaitu kebenarannya sendiri, dengan menerima karunia Allah, manusia wajib mempertahankan hidup dalam kebenaran itu yang memang hakiki baginya (EV. Art 48). Perjuangan kita untuk mempertahankan hidup betapa hakikinya kehidupan ini, menjadi tonggak yang tak pernah ada habisnya.

Kalau kita melihat perjalanan sejarah, muncul begitu banyak persoalan yang menghancurkan harkat dan martabat serta keluhuran manusia, di satu sisi. Banyak orang yang berjuang untuk mengatasi ancaman tersebut. Ketidakadilan dan penindasar harkat manusia terjadi, disitulah muncul perlawanan. Kita lihat peristiwa di Amerika Latin, terjadi penindasan terhadap kaum miskin, oleh para tuan tanah dan penguasa. Di mana peristiwa tersebut melahirkan pengorbanan Uskup Oscar Romero dan beberapa Jesuit dan perempuan. Peristiwa ini melahirkan refleksi yang mendalam betapa perjuangan mempertahankan keadilan menuai tantangan yang begitu besar, butuh pengorbanan. Mahatma Gandhi, mengusahakan sebuah gerakan “ahimsa”, betapa melalui kekerasan yang begitu besar, kelembutan dan cinta damai menjadi bagian perjuangan yang harus diangkat. Bunda Teresa dari Kalkuta, memberikan tangannya dalam mengabdikan diri kepada kehidupan, kepad mereka yang miskin dan tersingkir, untuk mengangkat mereka supaya bermartabat seperti manusia yang lainnya.

Kehidupan adalah milik Allah sebagai sumber segala kehidupan. Allah senantiasa berbelas kasih kepada manusia untuk mengangkat manusia ke dalam kemuliaan. Dan setiap orang menurut kodratnya memiliki hak hidup, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, aman, dan damai, tempat tinggal yang nyaman. Hak untuk tumbuh dan berkembang secara penuh, memperolah keadilan dan cinta, perlindungan dan segala sesuatu yang membuat sesorang merasa terlindungi. Setiap orang memiliki kesetaraan martabat dan hak asasi di hadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai “citra Allah” (Kej 1:27).

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment